December 18, 2015

Pindah!

Hai!

Saya resmi pindah ke journalkinchan.com! Sampai jumpa di sana :)


PS: Sedihnya ngga bisa redirect. Monggo dibookmark. Dimulai dari nol kakaaak :p

September 27, 2015

Journalkinchan.com is on the way!

HAI! *ditulis pakai huruf kapital semua saking kangennya*

Tunggu, saya bersihkan dulu sarang laba-labanya.

Oke, sudah.

Saya mau nangis liat jumlah posting blog di tahun 2015 ini. Lebih miris lagi melihat janji-janji palsu yang ditulis dalam tiap posting seperti "I'll be back!", "Write more", etc etc, tapi kosong melompong! Hahaha. Serius deh, menulis dan memotret jadi kegiatan mewah beberapa bulan terakhir ini. Ditambah lagi saya udah jarang banget traveling.

Tapi ada satu kabar gembira. Setidaknya bagi saya sendiri.

JournalKinchan sekarang sudah punya alamat .com sendiri! Ini adalah legenda nyaris mitos yang saya impikan sejak bertahun lalu dan baru kesampaian sekarang. Itupun karena bantuan salah satu suhu sebelah yang meminta tidak disebutkan namanya, panggil saja Lingga Binangkit, yang mau membantu saya migrasi ke blog baru tersebut. Di antara kerjaan seabrek bergaji dolarnya, dia masih mau bantuin saya! I'm blessed! Hahaha *mulai lebay*

Jadi... Setelah posting ini saya secara resmi akan rutin menulis di alamat baru saya. Blog ini tidak akan saya hapus, tapi postingnya tidak akan saya tambah lagi. Kalian jangan pergi yaaa... Saya selalu baca komentar teman-teman walau saya tak selalu sempat membalas. Senang rasanya tahu bahwa tulisan saya banyak yang membaca... Sungguh :)

Saya pamit dari blogspot ini, sampai jumpa di Journalkinchan.com!

*ya saya tahu nama blog saya emang alay, tapi sudah jadi trademark jhe :p

Sampai jumpa di posting selanjutnya!

-Maharsi Wahyu Kinasih-

September 07, 2015

Semerbak Negeri Tembakau


Seorang ibu memilah daun tembakau sebelum dikemas
Saya ingat bahwa almarhum Buppak (ayah angkat saya di Pulau Bawean, Jawa Timur) selalu memesan sebuah benda yang sama setiap saya menyeberang ke Jawa: tembakau. Barang itulah yang membuat kami menjadi akrab pada hari-hari selanjutnya. Tembakau yang saya bawa dari Jawa hanyalah tembakau rajangan biasa yang diperoleh dari Pasar Gresik. Daun kering ini Buppak simpan dalam sebuah plastik lusuh yang sudah berisi kertas linting. Plastik tersebut tak pernah lepas dari tangannya, dibawanya ke sawah, kamar mandi, hingga saat ia beranjak tidur. Buppak adalah seorang pekerja keras yang berubah tak produktif jika ia tak merokok barang satu batang dalam sehari.

“Tanpa rokok, makan saya tak enak Bu,” celetuknya dalam logat Bawean-Melayu yang kental.

Saya selalu ingin membelikan Buppak tembakau yang menurutnya enak. Pernah suatu ketika saya bawakan tembakau yang asal-asalan dibeli di pasar, ia tak doyan karena rasanya terlalu asam. Sejak saat itu saya mulai lebih memperhatikan jenis tembakau yang saya belikan untuknya.

Tawa Buppak saat menerima tembakau itu dari tangan saya, sungguh tak ternilai.

***

Lombok adalah ayam taliwang dan plecing kangkung. Lombok adalah tiga Gili dan Senggigi. Lombok adalah Suku Sasak dan Gunung Rinjani. Pulau yang jamak disebut Pulau Seribu Masjid ini tak terlalu saya kenal sebelumnya. Saya hanya melewati Lombok dalam perjalanan darat menuju Labuan Bajo. Karena itulah saat Mas Nuran Wibisono mengajak saya mengunjungi pulau ini lagi untuk mengetahui proses produksi tembakau dari hulu ke hilir, hati ini tak kuasa menolak. Mengenal sebuah tempat dari sisi yang lain selalu terdengar menarik. Saya makin bersemangat setelah mengetahui beberapa nama yang malang melintang di dunia maya rupanya turut serta.

Setelah menerima tawaran Mas Nuran dengan senyum yang mengembang, saya baru menyadari bahwa tema perjalanan ini mungkin akan sedikit sentimentil (memang saya anaknya tukang galau, sih). Saya tidak memiliki hubungan yang baik dengan rokok yang menjadi produk utama dari si emas hijau ini. Saya harus rela kehilangan Ayah selepas sekolah dasar setelah beliau bertahun-tahun menderita stroke sebagai akibat dari racun rokok yang ia hisap setiap hari tanpa jeda. Sejak saat itulah saya punya ketidaksukaan (jika ‘benci’ terdengar terlalu kasar) pada benda kecil tersebut. Tapi rasanya aneh membenci satu benda yang bahkan wujud mentahnya pun belum pernah saya sentuh. Selain itu, saya selalu menyimpan rasa penasaran tentang tembakau yang telah mengakar sebagai bagian dari kultur Indonesia. Saya juga ingat bagaimana tembakau menjadi jalan keterbukaan interaksi antara saya dan Buppak, antara tuan rumah dan pendatang. Meski saya tak merokok, tentu saja.

***

Seorang pria paruh baya yang menyambut kami pagi itu nampak masih energik. Dengan logat Jawa Timurannya yang khas, ia memperkenalkan diri sebagai Bapak Iskandar, senior manager PT Djarum di area Lombok. Diskusi santai bersama beliau di kantor sebelum menjelajahi area gudang, menjadi pijakan saya dalam memahami lebih jauh mengenai proses produksi tembakau yang cukup njlimet. Oh ya, rokok yang disediakan oleh pihak perusahaan disambut baik oleh teman-teman yang merokok. Hahaha. Suasana diskusi segera mencair seiring kepulan asap rokok yang memenuhi ruangan tersebut.

Sudah dua dasawarsa lebih pria kelahiran Sidoarjo ini tinggal di Lombok dan memperkenalkan tembakau virginia pada petani-petani Lombok.  Oh ya, dari beliau pulalah saya tahu bahwa Lombok merupakan salah satu penghasil tembakau terbesar dan terbaik di Indonesia, bahkan dunia. Sebelumnya saya kira bahwa tembakau hanya ditanam di Jawa saja. Maka jangan heran jika saat berkeliling Lombok, hamparan tanaman hijau berdaun lebar ini akan sering ditemui. 

Selepas diskusi, Bapak Iskandar mengajak kami berkeliling ke dalam gudang tembakau. Bangunan ini seakan menjadi sebuah diorama museum, tiap bagian ruangan memiliki aktivitasnya masing-masing yang dapat dinikmati sembari berjalan perlahan. Aroma tembakau memenuhi udara gudang, membuat saya terpikat harumnya sebelum akhirnya aroma itu berubah terlalu pekat.

Saya berbisik pada Mas Nuran yang kebetulan melintas di samping, “Mas, bau tembakau awalnya enak, tapi kok lama-lama, saya pusing ya...” Yang diajak ngobrol hanya tersenyum sok misterius. Akhirnya saya menyerah dan memasang masker di wajah sembari melihat sekeliling. Para pekerja ini, tahan juga ya menghirup aroma tembakau berjam-jam dalam sehari.

Ada beberapa aktivitas utama yang dapat dilihat di gudang tembakau ini. Beruntung kami datang saat musim panen tembakau tiba dimana aktivitas pengolahan tembakau sedang sibuk-sibuknya. Sayangnya, kami melewatkan proses musyawarah harga yang dilakukan antara petani tembakau dengan pewakilan perusahaan di hari sebelumnya, padahal proses inilah yang paling ingin saya lihat. Selain musyawarah harga, di gudang ini juga berlangsung aktivitas transaksi dan penimbangan tembakau, reklasifikasi, dan pengemasan ulang untuk dikirim ke pabrik pusat di Pulau Jawa.

Suasana gudang tembakau. Riuh!
Penimbangan tembakau
Karyawan dibagi jadi dua, reclass A dan reclass B sesuai jobdesk masing-masing
Tengkulak lokal Magelang, Agus Mulyadi


Kata Mas Nuran, kami sengaja diajak melihat proses produksi tembakau dalam urutan yang terbalik, dari hilir ke hulu. Cara ini sukses membuat saya penasaran bagaimana bentuk dedaunan kering tersebut saat masih segar menempel di batangnya. Ternyata, sebatang rokok mempunyai perjalanan yang sangat panjang. Dalam sebuah siklus produksi tembakau, ada ribuan tangan yang bekerja.

Selepas tur singkat di gudang tersebut, bus membawa kami ke tujuan selanjutnya: perkebunan tembakau Desa Padamara (dibaca: Pademare) di Lombok Timur. Petani tembakau di desa ini juga merupakan mitra PT Djarum. Oh ya, dari diskusi dengan Pak Iskandar saya mengetahui bahwa pola kemitraan yang dikembangkan oleh perusahaan rokok ternama ini cukup baik. Djarum menjamin untuk membeli tembakau hasil petani mitra dengan harga yang telah dimusyawarahkan. Proses penanaman hingga pengovenannya pun didampingi agar tembakau yang dihasilkan berkualitas mumpuni. Tak ayal, tingkat pengetahuan para petani pun meningkat seiring berjalannya waktu. Hal ini berkebalikan dengan cerita-cerita yang sering saya dapatkan tentang ketidakadilan yang dialami para petani tembakau, yang justru merugi saat panen tiba. Duh!

Ternyata tanaman tembakau seperti ini...


Di hari kedua, Pak Iskandar mengajak kami ke Desa Lekor dimana seorang petani tembakau sukses bernama Haji Sabaruddin tinggal. Haji Sabar, begitu ia biasa dipanggil, begitu hangat menyambut rombongan kami yang datang ke rumahnya. Saya tak menduga bahwa di desa yang nampak gersang ternyata tumbuh pula tanaman tembakau yang kontras dibandingkan ilalang kecoklatan di sekitarnya.

“Tembakau itu tanaman yang manja sekaligus sangat kuat. Di masa pertumbuhan cepatnya, ia butuh perhatian yang ekstra, tetapi di sisi lain meski tidak ada air ia tetap bisa tumbuh dan beradaptasi dengan lingkungannya,” ujar Pak Iskandar. Entah sudah batang rokok keberapa yang ia hisap siang itu. Luar biasa Bapak satu ini.

Setelah mengelilingi kebun tembakau milik Haji Sabaruddin, kami disuguhi kelapa muda segar dan beragam cemilan tradisional di rumahnya. Haji Sabaruddin berkisah awal mula tembakau masuk ke desa ini dan menjadi primadona. Desa Lekor dahulu ditakuti karena banyaknya warga yang menjadi penjahat. Ketika tembakau diperkenalkan dan warga melihat hasil penjualannya, beralihlah mereka menjadi petani tembakau hingga saat ini. 

Haji Sabaruddin naik haji lagi!
“Alhamdulillah dari tembakau saya bisa naik haji dan sekarang akan naik haji yang kedua kalinya,” kata Haji Sabaruddin sembari tersenyum simpul.

Daun tembakau yang telah dipetik kemudian masuk proses pengovenan (flue curing). Dalam sebuah bangunan kotak tinggi bermaterial batu bata tanpa ventilasi, tembakau yang telah diikat pada gelantang bambu itu dijajarkan di dalam oven dengan pola zigzag atau lurus sesuai kebutuhan. Selama empat hari oven tradisional tersebut mengeringkan daun-daun tembakau hingga menguning warnanya. Bahan bakarnya beragam telah dicoba, mulai dari minyak tanah, gas elpiji, batu bara, dan kini mereka menggunakan bahan bakar berupa limbah cangkang sawit dan kulit kemiri. Suhu oven harus dijaga antara 50-60 derajat Celcius dengan panas merata ke seluruh bagian oven. Jika tak kering betul, hal itu akan berpengaruh terhadap rasa tembakau. Barulah setelah proses itu dilewati, tembakau siap dikemas untuk dikirim ke gudang tembakau.

Bagian dalam oven dengan pipa-pipa besarnya
Dalam dua hari yang singkat tersebut, banyak istilah dan pemahaman baru yang saya peroleh. Tembakau punya kemiripan dengan kopi, tiap jenis memiliki karakteristik dan kelasnya masing-masing. Perawatan yang penuh kasih sayang akan menghasilkan daun tembakau berkualitas dengan harga jual yang sepadan. Di sinilah pengetahuan dan teknologi bermain peran.

***

Siang masih panjang ketika kami tiba di Pantai Tanjung Ann, Lombok Selatan. Pasir putih dengan tekstur halus dan laut membiru seakan mengundang kami segera menceburkan diri di airnya yang segar. Sayangnya, sinar matahari masih terlalu terik untuk dinikmati.

Saya jatuh cinta pada laut. Tapi sore itu, meskipun udara tak sepanas tadi, saya tetap enggan untuk sekedar mendekat ke air. Trauma nyaris tenggelam setahun lalu di Pulau Bawean (saya belum pernah cerita ya? Next time!) cukup menjadi alasan saya malas beranjak. Pun, saya justru disibukkan oleh berbagai pikiran yang sejak tadi berseliweran di kepala, tentang semua yang saya peroleh selama dua hari ini. 

drone milik Syukron jadi favorit anak-anak
Industri tembakau memang kompleks. Dari pro kontra masalah kesehatan, kesejahteraan masyarakat, hingga masalah politik dan ekonomi, membuat saya sadar bahwa tembakau telah begitu menyatu dengan kehidupan kita sehari-hari. Kehadiran tembakau tak ayal memberikan warna. Ya, perkara suka atau benci tak lantas menjadikan kita tumpul dalam berpikir. Saya bosan mendengarkan perkara pro kontra rokok tersebut, dan saya pun tidak tertarik membahasnya kali ini. Ada kepentingan dalam setiap keberpihakan yang kita ambil, saya pun punya pengalaman personal yang menjadikan saya berada di posisi yang mungkin berseberangan dengan sebagian peserta jelajah tembakau. Tapi hebatnya, kami bisa saling menghormati pendapat dan pilihan masing-masing.

Ada satu hal yang kini saya yakini: saya rupanya bisa berdamai dengan masa lalu. Ketika saya pulang ke Jakarta sendirian lebih awal pada Minggu malam itu, saya ingat senyum Haji Sabaruddin dan orang-orang yang saya temui selama perjalanan jelajah tembakau.

Saya masih tak menyukai rokok, tapi kini saya melihatnya dalam makna yang berbeda. 


___

Saya tak berkisah sendirian. Ada teman-teman blogger lain yang sudah menulis terlebih dulu dan beberapa punya ulasan yang lengkap dan cara pandang berbeda dalam bercerita mengenai proses produksi tembakau. Selamat menikmati!

Indri Juwono
Wira Nurmansyah
Edward S. Kennedy
Sabda Armandio
Vira Indohoy
Sukmadede
Atre7
Lostpacker

May 26, 2015

End of May

Rasanya seperti sudah bertahun lamanya sejak saya terakhir posting di blog ini. Lebaay... Tapi emang bener banget. Ngapain aja emangnya? Saya mungkin terlalu lama refleksi diri jadi waktu ngelihat blog ini saya bingung mau ngapain... Hahaha. Bukan ding, lebih tepatnya hampir setahun terakhir saya memang jarang sekali traveling jadi tidak ada bahan untuk menulis. Lagi senang-senangnya di rumah dan belajar jadi ibu rumah tangga yang baik :p Kalau menulis soal gegalauan kok rasanya sudah bukan umurnya. Jadi kini terpaksa menunggu wangsit agar saya bisa menulis lagi :)

Sekarang saya di mana? Setelah pulang dari penugasan Indonesia Mengajar, saya sempat bergabung dengan sebuah yayasan pendidikan di Jogjakarta sambil mencoba menentukan arah selanjutnya, tsaaah... Di situlah terjadi banyak kontemplasi mengenai apa yang sebenarnya saya mau. Setelah melalui pertimbangan panjang, akhirnya saya memutuskan untuk mendaftar sebagai calon pegawai negeri sipil di sebuah instansi pemerintahan di Jakarta.

Dan, di sinilah saya sekarang. Kembali ke keseharian dalam kubikel di ruangan ber-AC dan kursi empuk. Kenyamanan artifisial yang mungkin akan melenakan jika saya tak pandai mengatur waktu. Masa-masa penugasan setahun lalu saya anggap sebagai liburan panjang yang telah usai. Saya sangat menikmati cara bekerja seperti itu, tapi sepertinya bukan di sanalah jiwa saya berada.

Kini saya sekedar menjadi bagian dari angka statistik penduduk Jakarta. Saya memutuskan menetap dan menjadi satu di antara jutaan orang yang mencari sesuap nasi di ibukota. Semoga perjalanan karir ini tetap mendekatkan saya pada kebermanfaatan pada orang banyak dan tentu saja, nantinya saya tetap bisa menjalani hobi yaitu traveling!

Jika ada acara traveling atau meet up sesama traveler di Jakarta atau sekitarnya, ikutan dong! Hehehe :)

PS: Mohon maaf untuk teman-teman atau perusahaan yang pernah menghubungi saya untuk kerja sama atau endorsement. Saat ini saya masih belum bisa menerima pekerjaan komersial terkait dengan fleksibilitas waktu yang masih terbatas. Ada rencana juga untuk pindahan (blog) ke rumah baru yang lebih nyaman dan lapang. See you soon!

March 05, 2015

Penghujung Senja Buppak

Kupanggil dia Buppak.

Lelaki tua berperawakan kecil yang penuh keriput, namun mata tajamnya masih memancarkan semangat untuk hidup. Tiap kutanya usianya, ia selalu menggeleng. Lupa kapan tepatnya ia lahir, sebagaimana para warga paruh baya di dusun kecil ini. Mungkin ia telah hadir semasa Jepang menginvasi Indonesia. Atau bahkan sebelum itu.

Buppak - sebutan untuk bapak atau ayah dalam bahasa Bawean - adalah kepala keluarga di hostfam saya semasa penempatan di Pulau Bawean. Beberapa kali mungkin namanya pernah muncul di blog ini. Bapak Misrudi, lelaki berdarah asli Bawean ini mau menerimaku sebagai anak angkatnya di rumah.

Yang paling kuingat dari Buppak adalah tingkahnya yang lucu dan selalu energik. Ia berbicara dengan suara yang keras, membuat ciut nyali lawan bicara yang belum mengenal. Tapi dibalik suara kerasnya tersebut, ia sebenarnya senang melucu. Guyon khas Bawean senantiasa terlontar dari mulutnya yang tak henti menghembuskan asap rokok lintingan.

Rutinitas di rumah Serambah yang selalu membuatku geleng kepala adalah saat pukul enam tiba. Aku, Emak, serta para saudara angkatku biasanya telah duduk manis di dapur yang terpisah dari bangunan utama rumah. Biasanya Buppak belum terjaga dan saat itulah teriakan Emak atau saudaraku, Norma, berusaha memanggilnya.

"Buppak! Tidur terus kerjaannya, bangun! Beri makan sapi, orang lain sudah kerja dari subuh, sudah pulang bawa rumput, Buppak malah belum bangun!" ujar Emak dalam bahasa Bawean. Sekilas Emak seperti orang marah-marah. Begitulah cara orang gunung berkomunikasi karena letak rumah yang saling berjauhan.

Tapi percayalah, itu tanda sayang. Tak pernah lepas Emak atau Norma membuatkan kopi untuk Buppak dan menyiapkan makanan khusus untuknya yang sudah tak punya gigi. Usai sarapan, Buppak akan pergi untuk ngarek (mencari rumput) di gunung dan mengurus sapi. Sapi milik keluarga kami memang hanya empat ekor, tetapi rumput harus terus dicari.

Awal saya berada di sana, pohon aren milik Buppak masih rajin mengeluarkan la'ang (semacam air nira). Ia pergi setiap hari memanjat pohon tersebut dan menyadap la'ang nya untuk dibuat gula merah. Jika pohon aren tak mengeluarkan la'ang, Buppak akan pergi bersama para tetangga untuk memanen sagu di hutan. Beratnya luar biasa dan aku heran Buppak masih kuat mengangkutnya berkilometer dari rumah.

Dan ia selalu bepergian tanpa alas kaki. Kulit kakinya lebih tebal dari sandal gunung sekalipun, tak jera ditusuk kerikil tajam atau dibasuh beceknya jalanan. Bahkan jika ia harus pergi dengan mengenakan sandal demi asas kesopanan, ia sering pulang tanpa membawa sandalnya lagi. Lupa.

Buppak adalah sebuah kamus hidup. Aku sering menghabiskan waktu di malam hari untuk mengobrol dengannya. Semua pengetahuan ia dapat dari pengalaman karena ia tak pernah menyelesaikan bangku sekolah. Bercocok tanam, mencari ikan di laut, atau beternak sapi. Jika siang ia membuat jaring ikan, satu demi satu lubang jaring ia rajut hingga akhirnya tertidur begitu saja di kursi. Emak akan selalu berseloroh setiap melihat Buppak tertidur, 'Lihat Bu, itu namanya orang tua sudah tak punya gigi,' kemudian kami tertawa.

Tiap aku pergi ke Jawa, Buppak akan selalu menitipkan hal yang sama: tembakau untuk rokok lintingnya. Padahal Buppak punya penyakit batuk kronis menahun. Tapi asap rokok tetap kencang terhembus dari mulutnya. Katanya, Tuhan tak pilih-pilih orang mati. Merokok atau tidak, dia akan tetap mati.

Terakhir menatap wajah Buppak, Emak, dan puluhan warga Serambah lainnya adalah saat perpisahan kami di dermaga Bawean. Buppak ikut mengantarkan karena ia bisa sekalian melihat-lihat kota. Jarang betul Buppak bisa ke kota, paling jauh ke laut yang hanya sepelemparan batu dari gunung. Saat itu Buppak mengenakan kemeja hijau kotak-kotak pemberian anak bungsunya di Malaysia, dengan topi merah andalannya, biasanya Buppak mengenakan kemeja batik panjang khas orang tua. Melihatku menangis, Buppak tidak ingin bicara apa-apa. Tatapan matanya sendu, bahkan ia tidak menjawab salamku karena menahan haru. Sebelumnya Buppak sudah berjanji sekaligus sedikit angkuh mengatakan ia tidak akan menangis ketika aku pergi dari Bawean.

Buppak memang tidak menangis, tapi aku yang kembali menangisinya karena seminggu lalu ia akhirnya pergi.

Sebulan tergolek di tempat tidur karena beberapa penyakit, Buppak akhirnya dibawa ke puskesmas di kecamatan. Ketika kulihat Buppak dari foto yang dikirimkan Bu Sofi lewat Whatsapp, hatiku mencelos. Lelaki yang kuat perkasa di masa mudanya ini kini hanya jadi tulang berbalut kulit. Aku tidak dapat berharap banyak dari pengobatan ini karena dua hal: Buppak dan keluarga tidak akan betah berlama-lama di puskesmas dan puskesmas pun tidak dapat diandalkan karena minimnya fasilitas dan peralatan. Hanya tiga hari di sana Buppak dibawa pulang dengan anggapan bahwa dukun akan lebih mujarab dalam mengobati.

Selama beberapa hari sepulang dari rumah sakit aku tidak pernah lepas menanyakan keadaan Buppak lewat Bu Sofi, guru SD tempatku mengajar yang juga sering menginap di rumah Buppak. Kukirimkan beberapa obat herbal yang sekiranya bisa meringankan sakit Buppak sekaligus memberikan saran tentang asupan makanan Buppak. Hanya itu yang bisa kulakukan, sementara untuk langsung pergi ke sana belum memungkinkan. Tapi obat herbal itu belum sempat dicoba Buppak.

Selang dua hari setelah anak bungsunya datang dari Malaysia demi menjenguknya, Buppak meninggal dunia. Ia pergi di tengah keluarga yang lengkap menemaninya dan menyayanginya sepenuh hati.

"Bu Kinkin, saya menyesal tidak bisa membantu merawat Buppak dengan baik. Kenapa waktu itu saya biarkan Buppak pulang dari puskesmas. Saya kadang-kadang masih marah sama diri sendiri, Bu," ujar Bu Sofi lewat pesan whatsapp kepada saya.

Bu Sofi, saya menyesal karena saya terakhir kali hanya melihatnya dari jauh di dermaga. Saya tidak pernah menyangka itu pertemuan terakhir saya dengan Buppak. Saya menyesal jarang telpon Buppak, walaupun dia bukan orang tua kandung saya, tapi dia mau menerima dan direpotkan oleh saya.

Orang baik akan pergi dengan cara yang baik pula. Kali ini Buppak diberi jalan terbaik berupa kesembuhan dengan cara yang diberikan oleh Allah. Teriring Al-Fatihah untuk Buppak, semoga tenang penantianmu di sana.

Foto favorit alm. Buppak. Biar giginya tinggal satu, tetapi tertawa harus paling seru...

January 02, 2015

Ayu dan Refleksi Tahun Baru

Acara gathering yang diadakan di sebuah kantor akuntan publik sore itu sempat membuat saya khawatir. Sejak awal acara dibawakan dalam bahasa inggris karena audiensnya tak hanya orang Indonesia. Padahal, ada salah satu pengisi acara yang juga merupakan adik asuh di yayasan kami. Mampukah ia presentasi dalam bahasa inggris di depan para profesional yang meluangkan waktunya sesaat untuk duduk manis mendengarkan kami?

"Gapapa Kak, saya pakai bahasa Inggris saja," Ayu, nama pengisi acara termuda tersebut, berdiri dengan penuh percaya diri ketika ditawari untuk menggunakan bahasa indonesia dalam speechnya. Decak kagum segera muncul dari sesama pengisi acara. Anak ini tidak main-main.

Lalu terdengarlah suaranya memperkenalkan diri dalam bahasa inggris yang lancar. Ruangan seketika senyap memperhatikan Ayu menjelaskan perihal keinginannya melanjutkan studi di Jepang. Saya yang duduk di kursi operator, seketika harus membalikkan badan untuk menyeka air mata. Saya terharu karena ia ternyata mampu melampaui ekspektasi kami semua.

Ayu saat memperkenalkan dirinya di depan audiens. (Foto oleh: Dwinawan)
Bertahun lalu, Ayu mungkin hanyalah satu dari sekian banyak 'anak desa biasa' yang hidup di pelosok Bantul, Yogyakarta. Pertemuannya dengan Hoshizora Foundation memberikannya satu alasan kuat untuk bisa melihat dunia lebih luas. Dengan kemampuannya sendiri, Ayu mengumpulkan berbagai informasi penting mengenai sekolah favorit yang ia incar: MAN Insan Cendekia di Tangerang. Ia ceritakan bagaimana dirinya mempelajari sendiri bahasa Arab melalui internet dan bertanya sana-sini demi bisa lulus ujian masuk sekolah bergengsi tersebut. Jika bukan karena tekad, seorang Ayu mungkin akan kesulitan menembus batas-batas dirinya untuk bisa memperoleh informasi yang diinginkan.

Ayu kini sudah menginjak tahun ketiga bersekolah di sana. Prestasinya luar biasa: keluar dari zona nyamannya, jauh dari keluarganya, demi menempa diri agar bisa lebih baik. Ada satu mimpi yang kini ia kejar yaitu mendapatkan beasiswa Monbukagakusho untuk menempuh studi Ilmu Komputer di Jepang. Kala saya menjabat tangannya saat perpisahan kami di Stasiun Tanah Abang, binar mata dan senyumnya menunjukkan bahwa ia akan punya masa depan yang cerah.

(Ayu menuturkan perjalanan panjangnya meraih cita-cita secara lengkap di sini.)

Di yayasan tempat saya bekerja saat ini, saya temukan banyak Ayu-Ayu lain yang tak kalah menginspirasi. Saya sering merinding saat mengetikkan cerita-cerita mereka untuk berbagai media publikasi. Anak-anak ini punya masa-masa yang lebih sulit daripada orang kebanyakan, tetapi di saat yang bersamaan mereka pun punya masa-masa yang lebih hebat untuk dikenang. Mereka ini tidak mau terkekang dalam himpitan ekonomi yang mungkin sudah dirasakan sejak baru belajar berjalan. Beberapa mulai mekar berkembang, ada yang berhasil kuliah di universitas idaman, ada yang mulai merintis usaha, ada yang bekerja lebih dari apa yang pernah dibayangkan, tapi ada pula yang masih bingung apa yang ingin diraih kemudian.

Kemudian saya malu pada diri sendiri. Saat saya di usia yang sama, sudah sekeras inikah saya berjuang meraih cita-cita? Kini ketika usia saya menginjak kepala dua puluh, sering sekali ada keinginan yang berakhir dengan gumaman "Ah, kenapa nggak dari dulu…"

Saya tidak mencoba pertukaran pelajar saat SMA padahal saya ingin. Saya tidak mencoba mengikuti kursus bahasa Spanyol padahal saya ingin. Saya tidak mencoba mengikuti berbagai kegiatan unik padahal saya ingin. Saya tidak melanjutkan studi di jurusan idaman padahal saya ingin.

Dan banyak "saya tidak mencoba … padahal saya ingin" lainnya yang kini saya sesali.

Saya menyesalinya bukan karena saya telah melakukannya, tetapi justru karena saya tidak mau melakukannya. Saya kepalang takut dan gundah melihat sekeliling, bukannya memperkuat motivasi dan menjadi percaya diri.

Nyaris tiga bulan saya bekerja di yayasan ini, saya menemukan banyak hal baru. Salah satunya adalah bahwa motivasi dan inspirasi tak melulu datang dari mereka yang lebih tua. Ternyata mereka yang berusia jauh di bawah kita membawa hal-hal baru yang tak terpikirkan oleh kepala. Di usia dua puluhan ini nampaknya banyak hal yang masih belum terlambat untuk dikejar. Mumpung belum menikah, belum berkeluarga, dan belum membawa serentetan tanggung jawab baru lainnya. 

Jadi resolusi 2015 adalah mencoba apa yang sedari dulu saya ingin. Sebelum terlambat dan saya hanya bisa menyesalinya.

Selamat tahun baru 2015. Semoga di tahun ini kita bisa lebih baik dari sebelumnya, bisa lebih bermanfaat bagi sesama. Kurangi meminta dan menuntut, perbanyak memberi. Percayalah, itu tidak akan membuatmu merasa kurang.

***

Kini saya membantu teman-teman di Hoshizora Foundation, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang concern terhadap pendidikan dengan memberikan beasiswa kakak asuh kepada adik asuh di seluruh Indonesia agar dapat terus melanjutkan pendidikannya. Tertarik menjadi kakak asuh dan melihat sendiri bagaimana adik asuhmu berkembang? Sila klik hoshi-zora.org :)

November 22, 2014

Jenis-Jenis Pengendara Motor di Jogja: Sebuah Pengamatan (Tidak) Ilmiah

Sebulan terakhir saya rutin membelah Jogja. Bagi yang rutin main atau bahkan asli wong Jogja pasti tahu meskipun daerah istimewa ini kelihatannya hanya seuprit di peta pulau Jawa, tapi luasnya nggak kira-kira. Hahaha. Jadi setiap hari kerja saya harus berangkat dari rumah di dekat Ringroad Utara (kampus UGM) ke kantor di wilayah kota Bantul yang jauuuuh di selatan. Karena itulah saya sebut 'membelah Jogja'. Jarak tempuh satu arah sekitar 15an kilometer. Lumayan...

Nah, dengan jarak pulang pergi sejauh itu, saya tidak mau menghabiskan waktu, uang, dan tenaga untuk berlama-lama di jalan. Jadilah selama beberapa minggu pertama saya mencoba beragam rute pulang pergi demi mendapatkan efektivitas dan efisiensi maksimal! Pertama saya mencoba pulang pergi lewat tengah kota Jogja, menyusur jalanan utama nan padat yang saya biasa lewati. Daripada nyasar? Tapi saya bisa habis 1 jam lebih di jalan dan melewati lebih dari 15 lampu lalu lintas. Kemudian saya disarankan memutari Ringroad saja, karena meski lebih jauh lampu lalu lintas lebih sedikit dan jalannya tidak sepadat lewat dalam kota. Enak sih, hanya habis 35-45 menit saja di jalan, tapi lawan saya truk-truk gede dan bis AKAP. Akhirnya saya coba rute kombinasi (berasa pesen roti bakar) melewati jalan mblasuk lewat Goa Selarong dan akhirnya blusukan lewat Soragan. Waktunya tidak jauh beda dan tidak selelah saat saya menggunakan jalur Ringroad.

Jadinya curhat.